Kenaikan PPN 12 %, Sudahkah sesuai dengan prinsip equality?

 

Pemungutan pajak haruslah memperhatikan prinsip keadilan

Baru-baru ini pemerintah Indonesia memutuskan untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 %. Kebijakan ini menimbulkan berbagai pertanyaan dan kontra dari publik. Apakah kebijakan ini memuat prinsip equality atau keadilan?. Adam Smith dalam bukunya, mengemukakan bahwa pemungutan pajak haruslah memperhatikan prinsip keadilan. Keadilan yang dimaksudkan adalah pemungutan pajak harus memerhatikan hak dan kewajiban wajib pajak. Prinsip ini mengharuskan dikenakan pajak secara adil berdasarkan kemampuan ekonomi masing-masing. Wajib pajak dengan kondisi yang serupa akan dikenakan pajak yang sama (keadilan horizontal). Sementara itu, wajib pajak dengan pendapatan lebih tinggi akan dikenakan pajak yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang memiliki pendapatan lebih rendah (keadilan vertikal). Kenaikan PPN yang bersifat umum ini justru akan memperburuk  ketimpangan sosial yang ada di Indonesia.

Ketergantungan Terhadap Pajak: Tanda Ketidakseimbangan Ekonomi

Pajak merupakan sumber pendapatan negara terbesar bagi negara Indonesia, menyumbang sekitar 75-80 % dari total penerimaan negara. Sementara itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan hibah hanya memberikan sumbangan sekitar 15-20%. Dari sini bisa disimpulkan, negara berketergantungan besar pada pajak, terutama PPN. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya ketidakseimbangan dalam pengelolaan pendapatan negara. Sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, Indonesia harusnya bisa mendapatkan penerimaan pendapatan negara yang lebih tinggi dari sektor non-pajak. Namun, pada kenyataannya negara Indonesia sangat bergantung pada pajak sebagai tulang punggung pendapatan negara.

Ketergantungan ini mencerminkan ketidakseimbangan dalam perekonomian Indonesia. Apalagi, PPN adalah pajak yang bersifat regeresif, artinya pajak ini dikenakan pada hampir seluruh barang dan jasa tanpa membedakan pendapatan atau kemampuan membayar masyarakat. Kenaikan PPN 12 % jelas akan memberikan beban lebih berat bagi masyarakat berpendapatan rendah, yang notabene memiliki keterbatasan pendapatan untuk membayar pajak. Sebaliknya, masyarakat berpendapatan tinggi mungkin tidak begitu akan merasakan dampak yang signifikan dari kenaikan pajak tersebut. Ini menunjukkan bahwa kebijakan ini sungguh tidak memenuhi prinsisp asas equality.

Bukti lain yang menunjukkan bahwa kenaikan PPN menjadi 12 % tidak mencerminkan prinsip keadilan adalah karena kebijakan ini tidak disertai dengan peningkatan gaji atau pendapatan masyarakat. Beban pajak yang semakin tinggi tentu saja akan semakin menjadi beban berat bagi masyarakat, khususnya golongan masyarakat bawah. Tanpa adanya penyesuaian terhadap pendapatan masyarakat, kenaikan PPN ini akan memperburuk ketimpangan ekonomi, masyarakat golongan bawah akan semakin tercekik dengan kebijakan ini. Sebagai hasilnya, kebijakan ini akan semakin menambah kesulitan bagi masyarakat yang sudah berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Jika dilihat sekilas, PPN hanya naik sebesar 1% dari yang awalnya 11% menjadi 12%. Namun dalam perhitungan ekonomi, kenaikan 1% bukanlah angka yang kecil, angka ini sudah dinilai akan bisa memberikan imbas yang besar terhadap pendapatan negara. Karena, jika kenaikan ini tidak memberikan impact yang besar terhadap pendapatan negara, tentu saja opsi kenaikan PPN menjadi 12% tidak akan pernah di wacanakan untuk disahkan menjadi satu kebijakan oleh pemerintah. Jika kebijakan ini disahkan, maka negara Indonesia akan menjadi tertinggi yang memiliki tarif PPN meencapai 12% di negara Asia Tenggara. Negara harusnya perlu mempertimbangkan kondisi perekonomian rakyat sebelum menetapkan wacana kebijakan tersebut. Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura misalnya, Singapura mengenakan tarif PPN yang lebih rendah, yaitu sebesar 9%, namun dengan pendapatan perkapita masyarakat yang jauh lebih tinggi, yaitu mencapai sekitar 62 juta rupiah per bulan. Dengan kondisi ini, Singapura mampu memberikan beban pajak yang lebih ringan bagi warganya, sementara di Indonesia, meskipun tarif PPN lebih tinggi, banyak masyarakat yang berpendapatan jauh di bawah standart. Lagi-lagi hal ini menunjukkan bahwa kenaikan PPN tidak memenuhi prinsip equality.

Semakin tinggi pajak yang dikenakan, semakin besar pula beban yang harus ditanggung oleh pelaku ekonomi, termasuk pengusaha. Untuk mengatasi beban tersebut, banyak dari mereka yang terpaksa melakukan penyesuaian dengan mengurangi biaya operasional, salah satunya dengan melakukan pemutusan hubungan kerja atau lay off terhadap beberapa karyawan. Langkah ini bertujuan untuk menekan biaya, namun dampaknya adalah meningkatnya angka pengangguran di masyarakat. Ketika banyak orang kehilangan pekerjaan, risiko sosial, seperti meningkatnya angka kriminalitas, juga cenderung meningkat. Ketidakstabilan ekonomi yang disebabkan oleh kebijakan pajak yang berat bisa memicu ketegangan sosial dan menciptakan tantangan baru bagi negara dalam menjaga keamanan dan kesejahteraan masyarakat.

Wacana kenaikan PPN menjadi 12 persen ini juga terjadi dikala tingkat kepercayaan rakyat kepada negara sangat rendah, terutama akibat maraknya kasus korupsi yang tampaknya tidak disikapi dengan serius. Ketika masyarakat melihat bahwa pejabat publik yang terlibat dalam tindak pidana korupsi tidak mendapatkan sanksi yang setimpal, hal ini menciptakan rasa ketidakadilan dan trust  issue rakyat kepada pejabat pemerintahan. Rakyat merasa bahwa pajak yang mereka bayarkan tidak dikelola dengan baik dan tidak digunakan untuk kepentingan umum, melainkan disalahgunakan oleh pihk-pihak yang seharusnya menjadi pengayom mereka.

Oleh karena itu, untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan sesuai dengan asas equality, perlu adanya kebijakan yang lebih memperhatikan distribusi beban pajak berdasarkan kemampuan ekonomi masyarakat. Salah satunya adalah dengan mempertimbangkan pemberlakuan tarif progresif pada pajak atau dengan memperluas basis pajak agar tidak terlalu bergantung pada satu jenis pajak yang bersifat regresif seperti PPN. Selain itu, penting bagi pemerintah untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya negara agar tidak hanya mengandalkan pajak sebagai sumber utama pendapatan, tetapi juga memperkuat sektor-sektor lain yang bisa menjadi sumber pendapatan alternatif.

***

*) Oleh: Nada Listiyansyah- Mahasiswa FKIP Universitas Bakti Indonesia

*) Tulisan ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi anonapers.com

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksianona@gmail.com

**) Redaksi berhak tidak menayangkan kiriman tulisan yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi ANONA Pers.